Dari pelajaran diatas tentang Haji dan Umrah, Berikut ini terlampir ringkasan bagaimana cara melakukan amalan haji:
■ – Pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), sebelum melakukan ihram disunahkan memotong rambut, kumis dan kuku, lalu mandi, berwudu’ dan memakai wangi-wangian, kemudian mempersiapkan diri untuk berihram sebagaimana lazimnya ketika berihram harus dari miqat. Disunahkan di miqat melakukan shalat sunnah 2 rakaat, kemudian berniat untuk haji (haji ifradh, haji tamattu’ atau haji qiran) dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ حَجَّا
lalu dilanjutkan dengan memperbanyak membaca talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرَيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Bacaan talbiyah ini terus diucapkan dan tidak dihentikan kecuali jika akan melempar Jumratul Aqabah di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzul Hijjah setelah selesai wukuf di Arafah.
■ – Bagi yang berihram harus menjauhkan perbuatan yang kira2nya bisa membatalkan hajinya seperti melakukan jima’ dengan istri, bertengkar, bertikai atau berdebat dengan sesama rekan, jangan sekali kali sampai melakukan sesuatu yang buruk baik dalam perkataan atau perbuatan atau melakukan perbuatan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah haji, tidak dibolehkan kawin atau mengawini seseorang, dilarang menggunakan pakaian atau sepatu yang dijahit, dilarang menutup kepala dengan kopiah, dilarang memakai wangi wangian, memotong kuku atau rambut, dilarang memburu binatang, atau memotong pepohonan.
■ – Berangkat menuju Mina dan menginap disana pada malam tarwiyah (8 Dzul Hijjah) serta melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh dengan mengqashar shalat-shalat yang empat rakaat tanpa dijamak.
■ – Pagi harinya (9 Dzul Hijjah) bertolak dari Mina ke Arafah, hal ini dilakukan setelah matahari terbit.
■ – Setelah tiba di Arafah turun di Namirah disisi pandang Arafah (sekarang telah dibangun masjid besar) atau dimana saja di Arafah, karena seluruh Arafah adalah tempat wukuf. Lalu melaksanakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar dijamak taqdim dan diqashar dua raka’at dua raka’at dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah.
■ – Melaksanakan wuquf di padang Arafah dalam kondisi tidak berpuasa.
Saat wukuf di Arafat adalah saat saat ijabah, saat saat manusia dianjurkan untuk memperbanyak do’a dengan mengangkat tangan, memohon ampun dan bertaubat, dan jangan sekali kali sampai melakukan sesuatu yang buruk baik dalam perkataan atau perbuatan atau melakukan perbuatan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah saat berdiam diri di Arafat. Hal ini dilakukan hingga matahari terbenam.
■ – Setelah matahari terbenam bertolak meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah sambil memperbanyak membaca talbiyah dan berjalan dengan penuh ketenangan.
■ – Setelah tiba di Muzdalifah dianjurkan untuk shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak, shalat ini dilakukan dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah.
Di Muzdalifah dianjurkan menginap tanpa menghidupkan malam itu dengan shalat, tanpa membaca al-Qur-an atau ibadah lainnya karena hal tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Di Muzdalifah dianjurkan memungut batu kerikil jumlahnya 70 batu krikil yang digunakan untuk menyambit jumratul Aqabah tanggal 10 dan ketiga jumrah (Ula, Wustha dan Aqobah) di hari-hari 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah. Menginap di Muzdalifah dilakukan sampai masuknya waktu sholat Shubuh (10 dzul Hijjah) dan dianjurkan sholat Shubuh sebelum bertolak ke Mina.
■ – Kemudian melakukan wuquf di Masy’aril Haram (Muzdalifah) dengan menghadap ke arah kiblat sambil berdo’a, memohon segala kebaikan dan mengagungkan serta mentauhidkan Allah hingga bumi mulai telah terang.
■ – Lalu bertolak dari Muzdalifah sebelum matahari terbit menuju Mina dan setibanya di satu tempat yang bernama wadi Muhassir dianjurkan mempercepat langkah atau jalan. Disunahkan untuk mempercepat jalan di wadi itu dan bertahlil sesuai dengan perbuatan Rasulallah saw karena wadi ini merupakan wadi perkampungan syaitan
■ – Setibanya di Mina pada pagi hari 10 Dzul Hijjah, di waktu Dhuha dianjurkan melempar Jumrotul Aqabah dengan menggunakan 7 batu krikil kecil. Lemparan ini boleh juga dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan setiap lemparan membaca takbir ” اَللَّهُ أَكْبَرُ ” .
Pada saat melempar Jumrotul Aqabah dianjurkan menghentikan bacaan talbiyah. Dengan melempar jumroh ini, berarti telah bertahallul awal (tahallul pertama) yaitu diperbolehkan memotong rambut atau mencukur bersih (adapun bagi wanita cukup dengan memotong rambutnya sepanjang satu ruas jari), memakai wangi-wangian, dan membuka pakaian ihram dan menggantinya dengan pakaian biasa, semuanya boleh dilakukan hanya berjima’ dengan istri yang dilarang kecuali setelah bertahallaul tsani (tahallul kedua) yaitu setelah melakukan thawaf ifadhah dan sa’i.
■ – Bagi yang melaksanakan haji Tamattu’ harus melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwah setelah thawaf ifadhah. Adapun bagi haji Qiran yang sudah melaksanakan sa’i ketika pertama kali tiba, maka mereka tidak sa’i lagi sesudah thawaf ifadhah.
■ – Setelah thawaf ifadhah dianjurkan meminum air zamzam, lalu mencium Hajar Aswad (bila dalam keadaan sesak dan berdesakan lebih baik mengurungkan niat untuk menciumnya, cukup dengan memberi salam dari kejauhan).
■ – Setelah thawaf ifadhah dan sa’i kembali lagi ke Mina dan melakukan mabit (menginap) selama hari-hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah sambil melakukan pelemparan ke tiga jumrah (Ula, Wustha dan Aqobah) dan disunnahkan melempar setelah tergelincirnya matahari.
■ – Bagi yang melakukan haji Tamattu’ dan haji Qiran, harus menyembelih binatang hadyu berupa seekor kambing bagi setiap orang atau tujuh orang jama’ah haji bergabung untuk membeli seekor unta atau seekor sapi.
Dan tempat penyembelihannya boleh di Mina dan boleh pula di Makkah. Bagi yang tidak mampu menyembelih binatang hadyu, mereka diwajibkan berpuasa selama 3 hari pada masa haji dan 7 hari setelah tiba di kampung halamannya. Dan disunnahkan memakan sebagian dari daging sembelihan hadyunya.
■ – Maka selesailah pelaksanaan ibadah haji dan sebelum meninggalkan kota kelahiran Nabi saw, Makkah, disunnahkan melaksanakan thawaf wada’, artinya mengucapkan selamat tinggal kepada kota kecintaan Nabi saw dengan harapan bisa kembali lagi di tahun tahun berikutnya kecuali bagi wanita yang sedang haidh atau nifas, maka tidak wajib bagi mereka untuk melaksanakan thawaf wada’.
sumber: http://hasansaggaf.wordpress.com